Pembangunan merupakan bahagian yang tidak
dapat dipisahkan dari komitmen politik untuk mewujudkan masyarakat adil
dan makmur sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Amanah konstitusi tersebut kemudian dioperasionalkan dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa hakikat
pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
masyarakat Indonesia seluruhnya (GBHN, 1998). Bahkan pembangunan
didefinisikan oleh Galtung (1978) sebagai “Pembangunan manusia”, yaitu
sebagai “development of people in society” Dari amanah konstitusi dan
Garis-Garis Besar Haluan Negara di atas, dan menghadapi dunia yang makin
kompetitif akibat perlombaan negara-negara dalam mengejar
ketertinggalan dan meraih sukses dan kemakmuran rakyatnya menuntut kita
untuk senantiasa meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas,
sebab hanya dengan itu kita dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Pengalaman dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia selama 32 tahun yang diperintah oleh rezim Orde Baru menujukkan bahwa pembangunan yang terlalu menekankan paradigma pembangunan ekonomi (material) belum mampu membawa bangsa ini pada taraf yang membahagiakan.
Bahkan sebelumnya sebagai bahan
perbandingan tahun 50-an sampai 60-an muncul pemikiran bahwa sumber
daya manusia bukanlah menjadi penyebab ketertinggalan negara-negara
berkembang akan tetapi disebabkan oleh kelangkaan modal, sehingga jalan
keluar yang terbaik untuk mengangkat harkat dan martabat negara-negara
dunia ketiga adalah memberi suntikan dana berupa pinjaman dari
negara-negara dan donatur internasional.
Asumsi-asumsi di atas setelah
dilaksanakan dibanyak negara berkembang selama satu sampai dua
dasawarsa, ternyata banyak meleset. Suntikan dana dari negara-negara
kaya dan donatur internasional tidak menyelesaikan masalah, malahan
justru menimbulkan kerawanan-kerawanan pada sektor-sektor pembangunan
tertentu, termasuk kelangkaan kerja bagi penduduk miskin yang tanpa
pendidikan dan keterampilan.
Oleh sebab itu dalam melaksanakan
pembangunan di bidang fisik meterial, pembangunan di bidang mental
spritual yang erat kaitannya dengan upaya pembangunan kualitas sumber
daya manusia hendaklah menjadi prioritas sejalan dengan aspek-aspek yang
lain. Sumber daya manusia yang berkualitas dalam pengertian ini adalah
berilmu pengetahuan, menguasai teknologi, memiliki keterampilan dan
sehat jasmani dan rohaniah serta bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Tahir Kasnawi (1996), mengatakan bahwa
pembangunan berkelanjutan pada hakikatnya adalah pembangunan yang
dilaksanakan atas dasar keserasian antara kualitas sumber daya manusia
dengan sumber daya alam. Pembangunan seperti ini memberikan manfaat
kesejahteraan yang sebesar-besarnya pada masyarakat sekarang dan
kesejahteraan pada generasi yang akan datang.
Anak adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan keluarga, sebab ia merupakan manipestasi dari
suatu kainginan atau cita-cita yang luhur antara suami istri dan
keluarga lainnya. Anak adalah dambaan karena ia mempunyai nilai yang
tinggi sebagai pelanjut keturunan, sebagai perekat cinta kasih, sebagai
sumber rezeki, sebagai teman, sebagai penolong dan sebagai asuransi di
hari tua (Lein, 1989). Dalam pandangan Islam, anak dipandang sebagai
amanat. Pandangan ini menurut Quth (1988) mengisaratkan adanya
keterpaduan eksistensi anak dengan al-Khalik maupun dengan orang tuanya.
Istilah amanat mengimplikasikan keharusan menghadapi dan
memberlakukannya dengan sungguh-sungguh, hati-hati, teliti dan cermat.
Anak harus dijaga dan dibimbing dan diarahkan selaras dengan apa yang
diamanahkan.
Salah satu aspek penting dalam strategi
pengembangan kualitas sumber daya manusia adalah peningkatan pendidikan.
(Arismunandar). Dan sekolah sebagai pendidikan formal yang merupakan
bagian dari jalur pendidikan (GBHN, 1998).
Keluarga sebagai unit terkecil dalam
masyarakat berperan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh
karena keluarga adalah basis dari suatu masyarakat, dan bahwa keluarga
adalah satuan sosial terkecil dalam masyarakat, maka keluarga
bertanggung jawab atas ter-laksananya pembangunan nasional.
Seiring dengan perkembangan dan perubahan
zaman yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang lebih populer dengan sebutan pengaruh globalisasi dan informasi
membuat keluarga dalam mengemban tugasnya yang semakin berat. Secara
sadar memang diakui bahwa pendidikan anak adalah suatu hal yang perlu
dibenahi, namun hal ini tidaklah mudah. Banyak faktor yang menjadi
kendala disatu sisi mereka harus menembus persaingan memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari dan pada sisi yang lain mereka dihadapkan dengan
kewajiban dalam membiayai pendidikan anak-anaknya.
Kondisi ekonomi keluarga adalah suatu hal
yang sangat vital dalam menentukan pendidikan anak. Hal ini didukung
oleh hasil penelitian Alwin dan Thomton, 1984 (dalam Mahmud, 1989) bahwa
murid-murid yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi
tinggi menunjukkan prestasi belajar lebih tinggi dan dapat bersekolah
lebih lama ketimbang murid-murid yang berasal dari keluarga dengan
latarbelakang sosial ekonomi yang rendah.
Hal di atas sejalan dengan hasil
penelitian Prestel, seorang peneliti Jerman telah membandingkan prestasi
anak-anak dengan menghitung angka rata-rata rapor kelas pertama dari
anak yang berasal dari keluarga yang status sosial ekonominya rendah,
dengan anak-anak yang berasal dari keluarga yang status sosial
ekonominya agak tinggi. Dari hasil penelitian ini didapatinya bahwa
prestasi anak-anak dari keluarga yang rendah statusnya ekonominya pada
akhir kelas pertama adalah lebih tinggi, namun keunggulan ini pada akhir
kelas dua sudah bergeser dan golongan anak dari keluarga yang status
sosial ekonominya cukup telah mengejar kemajuan yang memadai (Abu
Ahmadi, 1990).
Dari uraian di atas semakin nampak bahwa
semakin tinggi status sosial ekonomi keluarga semakin besar peluang
dalam meningkatkan pendidikan anak, begitu pula sebaliknya.
Hasil pra-riset peneliti terhadap
keluarga di Kecamatan Mengkendek Kabupaten Tana Toraja ternyata banyak
didapati anak-anak yang tidak dapat melanjutkan studinya di Perguruan
Tinggi bahkan Sekolah Menengah Umum sekalipun dengan satu alasan biaya
pendidikan. Ditambah lagi dengan banyaknya mereka bersaudara sebagai
tanggungan. Sementara pendidikan yang tinggi hendaklah ditunjang oleh
ekonomi yang cukup.
Dari hasil pengamatan tersebut, penulis
berasumsi bahwa fungsi ekonomi keluarga dalam meningkatkan pendidikan
anak belum terlaksana sesuai dengan apa yang diharapkan. Dari fenomena
tersebut di atas penulis merasa tertarik untuk meneliti fungsi ekonomi
keluarga dalam meningkatkan pendidikan anak di Kecamatan Mengkendek
Kabupaten Tana Toraja. Apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan dunia
dewasa ini yang semakin konpentitif menuntut adanya kearifan dari
keluarga khususnya orang tua selaku kepala keluarga agar anak-anak
nantinya tidak kaku dalam memasuki lingkungannya yang serba kompleks.
Selengkapnya: download
Sumber: DATAstudi Information
2 komentar:
thanks infonya
mantap artikelnya,.....semoga bermamfaat
Posting Komentar